KATA PENGANTAR
Om Swastyastu,
Puji
syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas berkat
dan rahmat-Nya tugas ini dapat kami selesaikan. Tugas ini ditulis guna memenuhi
tugas Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti.
Dalam
penyusunan tugas ini, banyak kendala yang kami hadapi. Akan tetapi, berkat
bimbingan guru pengajar dan bantuan dari teman-teman, kendala itu
berangsur-angsur dapat kami atasi. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini,
kami mengucapkan terima kasih kepada Beliau dan rekan-rekan yang telah
meluangkan waktu dan tenaganya sehingga tugas ini dapat kami selesaikan.
Kami
menyadari bahwa tugas ini masih banyak kelemahannya atu kekurangannya. Oleh
karena itu, kritik dan saran pembaca sangat kami harapkan guna penyempurnaan
tulisan-tulisan berikutnya. Kepada
yang telah rela memberikan kritik dan saran, kami ucapkan terima kasih.
Om Santih, Santih, Santih Om
Denpasar, Agustus 2016
(Kelompok 2 / X MIPA 1)
D. Ringkasan Cerita Ramayana
Menurut Dadang JSN dkk
(2015). Kata Rāmāyana berasal dari bahasa Sanskeṛta yaitu dari kata Rāma dan
Ayaṇa yang berarti “Perjalanan Rāmā”,
adalah sebuah cerita epos dari India yang digubah oleh Valmiki (Valmiki) atau
Balmiki. Rāmāyana terdapat pula dalam khazanah sastra Jawa dalam bentuk kakawin
Rāmāyana. Dalam bahasa Melayu didapati pula Hikayat Seri Rāmā yang isinya
berbeda dengan kakawin Rāmāyana dalam bahasa Jawa kuna. Di India dalam bahasa
Sanskeṛta, Rāmāyana dibagi menjadi tujuh kitab atau kanda yaitu;
1. Bālakānda
Bālakānda atau kitab pertama Rāmāyana
menceritakan sang Daśaratha yang menjadi Raja di Ayodhyā. Sang raja ini
mempunyai tiga istri yaitu: Dewi Kauśalyā, Dewi Kaikeyī dan Dewi Sumitrā. Dewi
Kauśalyā berputrakan Sang Rāmā, Dewi Kaikeyī berputrakan sang Barata, lalu Dewi
Sumitrā berputrakan sang Lakṣamaṇa dan sang Satrugṇa. Pada suatu hari, Bagawan Visvamitra meminta tolong kepada
Prabu Daśaratha untuk menjaga pertapaannya. Sang Rāmā dan Lakṣamaṇa pergi
membantu mengusir para raksasa yang mengganggu pertapaan ini. Lalu atas
petunjuk para Brahmana maka sang Rāmā pergi mengikuti sayembara di Wideha dan
mendapatkan Dewi Sītā sebagai istrinya. Ketika pulang ke Ayodhyā mereka
dihadang oleh Rāmāparasu, tetapi mereka bisa mengalahkannya.
2. Ayodhyākāṇḍa
Ayodhyākāṇḍa adalah kitab kedua epos Rāmāyana
dan menceritakan sang Daśaratha yang akan menyerahkan kerajaan kepada sang
Rāmā, tetapi dihalangi oleh Dewi Kaikeyī. Katanya beliau pernah menjanjikan
warisan kerajaan kepada anaknya. Maka sang Rāmā disertai oleh Dewi Sītā dan Lakṣamaṇa
pergi mengembara dan masuk ke dalam hutan selama 14 tahun. Setelah mereka
pergi, maka Prabu Daśaratha meninggal karena sedihnya.
Sementara Rāmā pergi, Bharata baru saja pulang
dari rumah pamannya dan tiba di Ayodhyā. Ia mendapati bahwa ayahnya telah wafat
serta Rāmā tidak ada di istana. Kaikeyī menjelaskan bahwa Bharatalah yang kini
menjadi raja, sementara Rāmā mengasingkan diri ke hutan. Bharata menjadi sedih
mendengarnya, kemudian menyusul Rāmā. Harapan Kaikeyī untuk melihat putranya
senang menjadi raja ternyata sia-sia. Di dalam hutan, Bharata mencari Rāmā dan
memberi berita duka karena Prabu Daśaratha telah wafat. Ia membujuk Rāmā agar
kembali ke Ayodhyā untuk menjadi raja. Rakyat juga mendesak demikian, namun
Rāmā menolak karena ia terikat oleh perintah ayahnya. Untuk menunjukkan jalan
yang benar, Rāmā menguraikan ajaranajaran agama kepada Bharata. Rāmā
menyerahkan sandalnya. Akhirnya Bharata membawa sandal milik Rāmā dan
meletakkannya di singasana. Dengan lambang tersebut, ia memerintah Ayodhyā atas
nama Rāmā.
3. Āraṇyakāṇḍa
Selama masa
pembuangan, Lakṣmana membuat pondok untuk Rāmā dan Sītā. Ia juga melindungi
mereka di saat malam sambil berbincang-bincang dengan para pemburu di hutan.
Saat menjalani masa pengasingan di hutan, Rāmā dan Lakṣmana didatangi seorang
raksasa bernama Surpanaka. Ia mengubah wujudnya menjadi seorang wanita cantik
dan menggoda Rāmā dan Lakṣmana. Rāmā menolak untuk menikahinya dengan alasan
bahwa ia sudah beristri, maka ia menyuruh agar Surpanaka membujuk Lakṣmana,
namun Lakṣmana pun menolak. Surpanaka iri melihat kecantikan Sītā dan hendak
membunuhnya. Dengan sigap Rāmā melindungi Sītā dan Lakṣmana mengarahkan
pedangnya kepada Surpanaka yang hendak menyergapnya. Hal itu membuat hidung
Surpanaka terluka. Surpanaka mengadukan peristiwa tersebut kepada kakaknya yang
bernama Kara. Kara marah terhadap Rāmā yang telah melukai adiknya
dan hendak membalas dendam.
Dengan angkatan perang yang luar biasa,
Kara dan sekutunya menggempur Rāmā, namun mereka semua gugur. Akhirnya
Surpanaka melaporkan keluhannya kepada Rāvaṇa di Kerajaan Alengka. Surpanaka
mengadu kakaknya sang Rāvaṇa sembari memprovokasinya untuk menculik Dewi Sītā
yang katanya sangat cantik. Sang Rāvaṇapun pergi diiringi oleh Marica. Marica
menyamar menjadi seekor kijang emas yang menggoda Dewi Sītā. Dewi Sītā tertarik
dan meminta Rāmā untuk menangkapnya.
Pada suatu hari, Sītā melihat seekor
kijang yang sangat lucu sedang melompat-lompat di halaman pondoknya. Rāmā dan
Lakṣmana merasa bahwa kijang tersebut bukan kijang biasa, namun atas desakan
Sītā, Rāmā memburu kijang tersebut sementara Lakṣmana ditugaskan untuk menjaga
Sītā. Dewi Sītā ditinggalkannya dan dijaga oleh Lakṣamaṇa. Rāmāpun pergi
memburunya, tetapi si Marica sangat gesit. Kijang yang diburu Rāmā terus
mengantarkannya ke tengah hutan.
Karena Rāmā merasa bahwa kijang tersebut
bukan kijang biasa, ia memanahnya. Seketika hewan tersebut berubah menjadi
Marica, patih Sang Rāvaṇa. Saat Rāmā memanah kijang kencana tersebut, hewan itu
berubah menjadi rakshasa Marica, dan mengerang dengan suara keras. Sītā yang
merasa cemas, menyuruh Lakṣmana agar menyusul kakaknya ke hutan. Karena teguh
dengan tugasnya untuk melindungi Sītā, Lakṣmana menolak secara halus.
Kemudian Sītā berprasangka bahwa Lakṣmana
memang ingin membiarkan kakaknya mati di hutan sehingga apabila Sītā menjadi
janda, maka Lakṣmana akan menikahinya. Mendengar perkataan Sītā, Lakṣmana
menjadi sakit hati dan bersedia menyusul Rāmā, namun sebelumnya ia membuat
garis pelindung dengan anak panahnya agar makhluk jahat tidak mampu meraih
Sītā. Garis pelindung tersebut bernama Lakṣmana Rekha, dan sangat ampuh
melindungi seseorang yang berada di dalamnya, selama ia tidak keluar dari garis
tersebut.
Saat Lakṣmana meinggalkan Sītā
sendirian, raksasa Rāvaṇa yang menyamar sebagai seorang brahmana muncul dan
meminta sedikit air kepada Sītā. Karena Rāvaṇa tidak mampu meraih Sītā yang
berada dalam Lakshmana Rekha, maka ia meminta agar Sītā mengulurkan tangannya.
Pada saat tangan Rāvaṇa memegang tangan Sītā, ia segera menarik Sītā keluar
dari garis pelindung dan menculiknya. Lakṣmana menyusul Rāmā ke hutan, Rāmā
terkejut karena Sītā ditinggal sendirian. Ketika mereka berdua pulang, Sītā
sudah tidak ada. Rāvaṇa bertemu dengan seekor burung sakti sang Jatayu tetapi
Jatayu kalah dan sekarat. Lakṣamaṇa yang sudah menemukan Rāmā menjumpai Jatayu
yang menceritakan kisahnya sebelum ia mati.
4. Kiṣkindhakāṇḍa
Setelah mendapati bahwa Sītā sudah
menghilang, perasaan Rāmā terguncang. Lakṣmana mencoba menghibur Rāmā dan
memberi harapan. Mereka berdua menyusuri pelosok gunung, hutan, dan
sungai-sungai. Akhirnya mereka menemukan darah tercecer dan pecahan-pecahan
kereta, seolah-olah pertempuran telah terjadi. Rāmā berpikir bahwa itu adalah
pertempuran raksasa yang memperebutkan Sītā, namun tak lama kemudian mereka
menemukan seekor burung tua sedang sekarat. Burung tersebut bernama Jatayu,
sahabat Raja Daśaratha. Rāmā mengenal burung tersebut dengan baik dan dari
penjelasan Jatayu, Rāmā tahu bahwa Sītā diculik Rāvaṇa. Setelah memberitahu
Rāmā, Jatayu menghembuskan napas terakhirnya. Sesuai aturan agama, Rāmā
mengadakan upacara pembakaran jenazah yang layak bagi Jatayu.
Dalam perjalanan menyelamatkan Sītā,
Rāmā dan Lakṣmana bertemu raksasa aneh yang bertangan panjang. Atas instruksi
Rāmā, mereka berdua memotong lengan raksasa tersebut dan tubuhnya dibakar
sesuai upacara. Setelah dibakar, raksasa tersebut berubah wujud menjadi seorang
dewa bernama Kabanda. Atas petunjuk Sang Dewa, Rāmā dan Lakṣamaṇa pergi ke tepi
sungai Pampa dan mencari Sugrivā di bukit Resyamuka karena Sugrivā-lah yang
mampu menolong Rāmā. Dalam
perjalanan mereka beristirahat di asrama Sabari, seorang wanita tua yang dengan
setia menantikan kedatangan mereka berdua. Sabari menyuguhkan buah-buahan
kepada Rāmā dan Lakṣmana. Setelah menyaksikan wajah kedua pangeran tersebut dan
menjamu mereka, Sabari meninggal dengan tenang dan mencapai surga.
Dalam masa
petualangan mencari Sītā, Rāmā dan Lakṣmana menyeberangi sungai Pampa dan pergi
ke gunung Resyamuka, sampai akhirnya tiba di kediaman para wanara dengan
rajanya bernama Sugrivā. Sugrivā takut saat melihat Rāmā dan Lakṣmana sedang
mencari-cari sesuatu, karena ia berpikir bahwa mereka adalah utusan Subali yang
dikirim untuk mencari dan membunuh Sugrivā. Kemudian Sugrivā mengutus
keponakannya yang bernama Hanumān untuk menyelidiki kedatangan Rāmā dan Lakṣmana.
Sebelum berjumpa dengan Sugrivā, Rāmā bertemu dengan Hanumān yang menyamar
menjadi brahmana. Setelah bercakap-cakap agak lama, Hanumān menampakkan wujud
aslinya. Setelah mengetahui bahwa Rāmā dan Lakṣmana adalah orang baik, Hanumān
mempersilakan mereka untuk menemui Sugrivā. Di hadapan Rāmā, Sugrivā menyambut
kedatangan Rāmā di istananya. Tak berapa lama kemudian mereka saling
menceritakan masalah masing-masing.
Pada suatu
ketika, rakshasa bernama Mayawi datang ke Kiskenda untuk menantang berkelahi
dengan Subali. Subali yang tidak pernah menolak jika ditantang berkelahi
menyerang Mayawi dan diikuti oleh Sugrivā . Melihat lawannya ada
dua orang, raksasa tersebut lari ke sebuah gua besar. Subali mengikuti raksasa tersebut dan menyuruh Sugrivā
menunggu di luar. Beberapa lama kemudian, Sugrivā mendengar suara teriakan
diiringi dengan darah segar yang mengalir keluar. Karena mengira bahwa Subali
telah tewas, Sugrivā menutup gua tersebut dengan batu yang sangat besar agar
sang raksasa tidak bisa keluar. Kemudian Sugrivā kembali ke Kiskenda dan didesak
untuk menjadi raja karena Subali telah dianggap tewas.
Saat Sugrivā
menikmati masa-masa kekuasaannya, Subali datang dan marah besar karena Sugrivā
telah mengurungnya di dalam gua. Merasa bahwa ia dikhianati, Subali mengusir
Sugrivā jauh-jauh dan merebut istrinya pula. Sugrivā dengan rendah hati minta
maaf kepada Subali, namun permohonan maafnya tidak diterima Subali. Akhirnya
Subali menjadi raja Kiṣkindha sedangkan Sugrivā beserta pengikutnya yang setia
bersembunyi di sebuah daerah yang dekat dengan asrama Ṛsī Matanga, dimana
Subali tidak akan berani untuk menginjakkan kakinya di daerah itu.
Akhirnya Rāmā dan Sugrivā mengadakan
perjanjian bahwa mereka akan saling tolong menolong. Rāmā berjanji akan merebut
kembali Kerajaan Kiskenda dari Subali sedangkan Sugrivā berjanji akan membantu
Rāmā mencari Sītā. Akhirnya Rāmā dan Sugrivā menjalin persahabatan dan berjanji
akan saling membantu satu sama lain. Setelah menyusun suatu rencana, mereka datang ke Kiskenda.
Di pintu
gerbang istana Kiskenda, Sugrivā berteriak menantang Subali. Karena merasa
marah, Subali keluar dan bertarung dengan Sugrivā. Setelah petarungan sengit
berlangsung beberapa lama, Sugrivā makin terdesak sementara Subali makin
garang. Akhirnya Rāmā muncul untuk menolong Sugrivā dengan melepaskan panah
saktinya ke arah Subali. Panah sakti tersebut menembus dada
Subali yang sekeras intan kemudian membuatnya jatuh tak berkutik. Saat sedang
sekarat, Subali memarahi Rāmā yang mencampuri urusannya. Ia juga berkata bahwa
Rāmā tidak mengetahui sikap seorang ksatria. Rāmā tersenyum mendengar
penghinaan Subali kemudian menjelaskan bahwa andai saja Subali tidak bersalah,
tentu panah yang dilepaskan Rāmā tidak akan menembus tubuhnya, melainkan akan
menjadi bumerang bagi Rāmā. Setelah mendengar penjelasan Rāmā, Subali sadar
akan dosa dan kesalahannya terhadap adiknya. Akhirnya ia merestui Sugrivā
menjadi Raja Kiskenda serta menitipkan anaknya yang bernama Anggada untuk
dirawat oleh Sugrivā . Tak berapa lama kemudian, Subali menghembuskan napas
terakhirnya.
Setelah Subali wafat, Sugrivā
bersenang-senang di istana Kiskenda, sementara Rāmā dan Lakṣmana menunggu kabar
dari Sugrivā di sebuah gua. Karena sudah lama menunggu, Rāmā mengutus Lakṣmana
untuk memperingati Sugrivā agar memenuhi janjinya menolong Sītā. Tiba di pintu
gerbang Kiskenda, Sugrivā yang diwakili Hanumān meminta maaf kepada Rāmā karena
melupakan janji mereka untuk mencari Sītā. Akhirnya Sugrivā mengerahkan
prajuritnya yang terbaik untuk menjelajahi bumi demi menemukan Sītā. Prajurit
pilihan Sugrivā terdiri atas Hanumān, Nila, Jembawan, Anggada, Gandamadana, dan
lain-lain.
Saat bertemu dengan Rāmā dan Lakṣmana,
Hanumān merasakan ketenangan. Ia tidak melihat adanya tanda-tanda permusuhan
dari kedua pemuda itu. Rāmā dan Lakṣmana juga terkesan dengan etika Hanumān.
Kemudian mereka bercakap-cakap dengan bebas. Mereka menceritakan riwayat
hidupnya masing-masing. Rāmā juga menceritakan keinginannya untuk menemui
Sugrivā . Karena tidak curiga lagi kepada Rāmā dan Lakṣmana, Hanumān kembali ke
wujud asalnya dan mengantar Rāmā dan Lakṣmana menemui Sugrivā.
Mereka menempuh perjalanan berhari-hari
dan menelusuri sebuah gua, kemudian tersesat dan menemukan kota yang berdiri
megah di dalamnya. Atas keterangan Swayampraba yang tinggal di sana, kota
tersebut dibangun oleh arsitek Mayasura dan sekarang sepi karena Maya pergi ke
alam para Dewa. Lalu Hanumān menceritakan maksud perjalanannya dengan panjang
lebar kepada Swayampraba. Atas bantuan Swayampraba yang sakti, Hanumān dan
wanara lainnya lenyap dari gua dan berada di sebuah pantai dalam sekejap.
Di pantai tersebut, Hanumān dan wanara
lainnya bertemu dengan Sempati, burung raksasa yang tidak bersayap. Ia duduk sendirian di pantai tersebut sambil menunggu
bangkai hewan untuk dimakan. Karena ia mendengar percakapan para wanara
mengenai Sītā dan kematian Jatayu, Sempati menjadi sedih dan meminta agar para
wanara menceritakan kejadian yang sebenarnya terjadi. Anggada menceritakan
dengan panjang lebar kemudian meminta bantuan Sempati. Atas keterangan Sempati,
para wanara tahu bahwa Sītā ditawan di sebuah istana yang teretak di Kerajaan
Alengka. Kerajaan tersebut diperintah oleh raja raksasa bernama Rāvaṇa. Para
wanara berterima kasih setelah menerima keterangan Sempati, kemudian mereka
memikirkan cara agar sampai di Alengka.
Karena bujukan
para wanara, Hanumān teringat akan kekuatannya dan terbang menyeberangi lautan
agar sampai di Alengka. Setelah ia menginjakkan kakinya di sana, ia menyamar
menjadi monyet kecil dan mencari-cari Sītā. Ia melihat Alengka sebagai benteng
pertahanan yang kuat sekaligus kota yang dijaga dengan ketat. Ia melihat
penduduknya menyanyikan mantra-mantra Veda dan lagu pujian kemenangan kepada
Rāvaṇa. Namun
tak jarang ada orang-orang bermuka kejam dan buruk dengan senjata lengkap.
Kemudian ia datang ke istana Rāvaṇa dan mengamati wanitawanita cantik yang tak
terhitung jumlahnya, namun ia tidak melihat Sītā yang sedang merana. Setelah
mengamati ke sana-kemari, ia memasuki sebuah taman yang belum pernah
diselidikinya. Di sana ia melihat wanita yang tampak sedih dan murung yang
diyakininya sebagai Sītā.
5.
Sundarakāṇḍa
Sundarakāṇḍa adalah kitab kelima
Rāmāyana. Dalam kitab ini diceritakan bagaimana sang Hanumān datang ke
Alengkapura mencari tahu akan keadaan Dewi Sītā dan membakar kota Alengkapura
karena iseng. Inti dari kisah Rāmāyana adalah penculikan Sītā oleh Rāvaṇa raja
Kerajaan Alengka yang ingin mengawininya. Penculikan ini berakibat dengan
hancurnya Kerajaan Alengka oleh serangan Rāmā yang dibantu bangsa Wanara dari
Kerajaan Kiskenda.
Kemudian Hanumān melihat Rāvaṇa merayu Sītā.
Setelah Rāvaṇa gagal dengan rayuannya dan pergi meninggalkan Sītā, Hanumān
menghampiri Sītā dan menceritakan maksud kedatangannya. Mulanya Sītā curiga,
namun kecurigaan Sītā hilang saat Hanumān menyerahkan cincin milik Rāmā.
Hanumān juga menjanjikan bantuan akan segera tiba. Hanumān menyarankan agar
Sītā terbang bersamanya kehadapan Rāmā, namun Sītā menolak. Ia mengharapkan
Rāmā datang sebagai ksatria sejati dan datang ke Alengka untuk menyelamatkan
dirinya. Kemudian Hanumān mohon restu dan pamit dari hadapan Sītā. Sebelum
pulang ia memporak-porandakan taman Asoka di istana Rāvaṇa. Ia membunuh ribuan
tentara termasuk prajurit pilihan Rāvaṇa seperti Jambumali dan Aksha. Akhirnya
ia dapat ditangkap Indrajit dengan senjata Brahma Astra. Senjata itu memilit
tubuh Hanumān. Namun kesaktian Brahma Astra lenyap saat tentara raksasa
menambahkan tali jerami. Indrajit marah bercampur kecewa karena Brahma Astra
bisa dilepaskan Hanumān kapan saja, namun Hanumān belum bereaksi karena menunggu
saat yang tepat.
Ketika Rāvaṇa hendak memberikan hukuman
mati kepada Hanumān, Vibhīsaṇa membela Hanumān agar hukumannya diringankan,
mengingat Hanumān adalah seorang utusan. Kemudian Rāvaṇa menjatuhkan hukuman
agar ekor Hanumān dibakar. Melihat hal itu, Sītā berdo’a agar api yang membakar
ekor Hanumān menjadi sejuk. Karena do’a Sītā kepada Dewa Agni terkabul, api
yang membakar ekor Hanumān menjadi sejuk. Lalu ia memberontak dan melepaskan
Brahma Astra yang mengikat dirinya. Dengan ekor menyala-nyala seperti obor, ia
membakar kota Alengka. Kota Alengka pun menjadi lautan api. Setelah menimbulkan
kebakaran besar, ia menceburkan diri ke laut agar api di ekornya padam.
Penghuni surga memuji keberanian Hanumān dan berkata bahwa selain kediaman
Sītā, kota Alengka dilalap api. Dengan membawa kabar gembira, Hanumān menghadap
Rāmā dan menceritakan keadaan Sītā. Setelah itu, Rāmā menyiapkan pasukan wanara
untuk menggempur Alengka.
6. Yuddhakāṇḍa
Saat Rāmā dan tentaranya bersiap-siap
menuju Alengka, Vibhīsaṇa, adik Sang Rāvaṇa, datang menghadap Rāmā dan mengaku
akan berada di pihak Rāmā. Setelah ia menjanjikan persahabatan yang kekal, Rāmā
menobatkannya sebagai Raja Alengka meskipun Rāvaṇa masih hidup dan belum
dikalahkan. Kemudian Rāmā dan pemimpin wanara lainnya berunding untuk
memikirkan cara menyeberang ke Alengka mengingat tidak semua prajuritnya bisa
terbang. Akhirnya Rāmā menggelar suatu upacara di tepi laut untuk memohon
bantuan dari Dewa Baruna. Selama tiga hari Rāmā berdo’a dan tidak mendapat
jawaban, akhirnya kesabarannya habis. Kemudian ia mengambil busur dan panahnya
untuk mengeringkan lautan. Melihat laut akan binasa, Dewa Baruna datang
menghadap Rāmā dan memohon maaf atas kesalahannya. Dewa Baruna menyarankan agar
para wanara membuat jembatan besar tanpa perlu mengeringkan atau mengurangi
kedalaman lautan. Nila ditunjuk sebagai arsitek jembatan tersebut. Setelah
bekerja dengan giat, jembatan tersebut terselesaikan dalam waktu yang singkat
dan diberi nama “Situbanda”.
Setelah jembatan rampung, Rāmā dan
pasukannya menyeberang ke Alengka. Pada pertempuran pertama, Anggada
menghancurkan menara Alengka. Untuk meninjau kekuatan musuh, Rāvaṇa segera
mengirim mata-mata untuk menyamar menjadi wanara dan berbaur dengan mereka.
Penyamaran mata-mata Rāvaṇa sangat rapi sehingga banyak yang tidak tahu,
kecuali Vibhīsaṇa. Kemudian Vibhīsaṇa menangkap mata-mata tersebut dan
membawanya ke hadapan Rāmā. Di
hadapan Rāmā, mata-mata tersebut memohon pengampunan dan berkata mereka hanya
menjalankan perintah. Akhirnya Rāmā mengizinkan mata-mata tersebut untuk
melihat-lihat kekuatan tentara Rāmā dan berpesan agar Rāvaṇa segera
mengambalikan Sītā. Mata-mata tersebut sangat terharu dengan kemurahan hati
Rāmā dan yakin bahwa kemenangan akan berada di pihak Rāmā.
Ketika
Indrajit melakukan ritual untuk memperoleh kekuatan, Lakṣmana datang bersama
pasukan wanara dan merusak lokasi ritual. Indrajit menjadi marah kemudian
perang terjadi. Lakṣmana yang tidak ingin perang terjadi begitu lama segera
melepaskan senjata panah Indrāstra. Senjata tersebut memutuskan leher Indrajit
dari badannya sehingga ia tewas seketika. Atas jasanya tersebut, Rāmā memuji
Lakṣmana serta para dewa dan gandarwa menjatuhkan bunga dari surga.
Dalam
pertempuran besar antara Rāmā dan Rāvaṇa, Hanumān membasmi banyak tentara
rakshasa. Saat Rāmā, Lakṣmana, dan bala tentaranya yang lain terjerat oleh
senjata Nagapasa yang sakti, Hanumān pergi ke Himalaya atas saran Jembawan
untuk menemukan tanaman obat. Karena tidak tahu persis bagaimana ciri-ciri
pohon yang dimaksud, Hanumān memotong gunung tersebut dan membawa potongannya
ke hadapan Rāmā. Setelah Rāmā dan prajuritnya pulih kembali, Hanumān
melanjutkan pertarungan dan membasmi banyak pasukan rakshasa.
Pada hari
pertempuran terahir, Dewa Indra mengirim kereta perangnya dan meminjamkannya
kepada Rāmā. Kusir kereta tersebut bernama Matali, siap melayani Rāmā. Dengan
kereta ilahi tersebut, Rāmā melanjutkan peperangan yang berlangsung dengan
sengit. Kedua pihak sama-sama kuat dan mampu bertahan. Akhirnya Rāmā melepaskan
senjata Brahma Astra ke dada Rāvaṇa. Senjata sakti tersebut mengantar Rāvaṇa
menuju kematiannya. Seketika bunga-bunga bertaburan dari surga karena
menyaksikan kemenangan Rāmā. Vibhīsaṇa meratapi jenazah kakaknya dan sedih
karena nasihatnya tidak dihiraukan. Sesuai aturan agama, Rāmā mengadakan
upacara pembakaran jenazah yang layak bagi Rāvaṇa kemudian memberikan wejangan
kepada Vibhīsaṇa untuk membangun kembali Negeri Alengka. Setelah Rāvaṇa dikalahkan.
Berkat bantuan
Sugrivā raja bangsa Wanara, serta Vibhīsaṇa adik Rāvaṇa, Rāmā berhasil
mengalahkan Kerajaan Alengka. Setelah kematian Rāvaṇa, Rāmā pun menyuruh
Hanumān untuk masuk ke dalam istana menjemput Sītā. Hal ini sempat membuat Sītā
kecewa karena ia berharap Rāmā yang datang sendiri dan melihat secara langsung
tentang keadaannya. Setelah mandi dan bersuci, Sītā menemui Rāmā. Rupanya Rāmā
merasa sangsi terhadap kesucian Sītā karena istrinya itu tinggal di dalam
istana musuh dalam waktu yang cukup lama. Menyadari hal itu, Sītā pun menyuruh
Lakṣmana untuk mengumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya dan membuat api
unggun. Tak lama kemudian Sītā melompat ke dalam api tersebut. Dari dalam api
tiba-tiba muncul Dewa Brahma dan Dewa Agni mengangkat tubuh Sītā dalam keadaan
hidup. Hal ini membuktikan kesucian Sītā sehingga Rāmā pun dengan lega
menerimanya kembali.
Sītā kembali
ke pelukan Rāmā dan mereka kembali ke Ayodhyā bersama Lakṣmana, Sugrivā,
Hanumān dan tentara wanara lainnya. Di Ayodhyā, mereka disambut oleh Bharata
dan Kaikeyī. Di sana para wanara diberi hadiah oleh Rāmā atas jasa-jasanya. Di
Ayodhyāpura mereka disambut oleh prabu Barata dan beliau menyerahkan
kerajaannya kepada sang Rāmā. Śrī Rāmā lalu memerintah di Ayodhyāpura dengan
bijaksana.
7. Uttarakāṇḍa
Setelah Rāvaṇa
berhasil dikalahkan, Rāmā, Lakṣmana dan Sītā beserta para wanara pergi ke
Ayodhyā. Di sana mereka disambut oleh Bharata dan Kaikeyī. Lakṣmana hendak
dianugerahi Yuwaraja oleh Rāmā, namun ia menolak karena merasa Bharata lebih
pantas menerimanya dibandingkan dirinya, sebab Bharata memerintah Ayodhyā
dengan baik dan bijaksana selama Rāmā dan Lakṣmana tinggal di hutan.
Setelah
pertempuran besar melawan Rāvaṇa berakhir, Rāmā juga hendak memberikan hadiah
untuk Hanumān. Namun Hanumān menolak karena ia hanya ingin agar Śrī Rāmā
bersemayam di dalam hatinya. Rāmā mengerti maksud Hanumān dan bersemayam secara
rohaniah dalam jasmaninya. Akhirnya Hanumān pergi bermeditasi di puncak gunung
mendo’akan keselamatan dunia.
Setelah pulang
ke Ayodhyā, Rāmā, Sītā, dan Lakṣmana disambut oleh Bharata dengan upacara
kebesaran. Bharata kemudian menyerahkan takhta kerajaan kepada Rāmā sebagai
raja. Dalam pemerintahan Rāmā terdengar desas-desus di kalangan rakyat jelata
yang meragukan kesucian Sītā di dalam istana Rāvaṇa. Rāmā merasa tertekan
mendengar suara sumbang tersebut. Ia akhirnya memutuskan untuk membuang Sītā
yang sedang mengandung ke dalam hutan. Dalam pembuangannya itu, Sītā ditolong
seorang Ṛsī bernama Valmiki dan diberi tempat tinggal.
Beberapa waktu kemudian, Sītā melahirkan
sepasang anak kembar diberi nama Lawa dan Kusa. Keduanya dibesarkan dalam
asrama Ṛsī Valmiki dan diajari nyanyian yang mengagungkan nama Rāmācandra, ayah
mereka. Suatu ketika Rāmā mengadakan upacara Aswamedha. Ia melihat dua pemuda kembar
muncul dan menyanyikan sebuah lagu indah yang menceritakan tentang kisah
perjalanan dirinya dahulu. Rāmā pun menyadari kalau kedua pemuda yang tersebut
yang tidak lain adalah Lawa dan Kusa merupakan anak-anaknya sendiri.
Atas
permintaan Rāmā melalui Lawa dan Kusa, Sītā pun dibawa kembali ke Ayodhyā. Namun
masih saja terdengar desas-desus kalau kedua anak kembar tersebut bukan anak
kandung Rāmā. Mendengar hal itu, Sītā pun bersumpah jika ia pernah berselingkuh
maka bumi tidak akan sudi menerimanya. Tiba-tiba bumi pun terbelah. Dewi
Pertiwi muncul dan membawa Sītā masuk ke dalam tanah. Menyaksikan hal itu Rāmā
sangat sedih. Ia pun menyerahkan takhta Ayodhyā dan setelah itu bertapa di
Sungai Gangga sampai akhir hayatnya.
E.
Nilai-Nilai Yadnya dalam Cerita Ramayana
1.
Dewa Yajña
Dewa Yajña adalah Yajña yang dipersembahkan kehadapan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa beserta seluruh manifestasinya.
Dalam cerita Rāmāyana banyak terurai hakikat Dewa Yajña dalam perjalanan
kisahnya. Seperti pelaksanaan Homa Yajña yang dilaksanakan oleh Prabu
Daśaratha. Upacara ini dimaknai sebagai upaya penyucian melalui perantara Dewa
Agni.
Dari beberapa uraian singkat cerita Rāmāyana tersebut
tampak jelas bahwa sujud bakti ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang
Hyang Widhi Wasa merupakan suatu keharusan bagi makhluk hidup terlebih lagi
umat manusia. Keagungan Yajña dalam bentuk persembahan bukan diukur dari besar
dan megahnya bentuk upacara, tetapi yang paling penting adalah kesucian dan
ketulusikhlasan dari orang-orang yang terlibat melakukan Yajña.
2. Pitra Yajña
Upacara ini bertujuan untuk menghormati dan memuja
leluhur. Seperti apa yang diuraikan dalam kisah kepahlawanan Rāmāyana, dimana
Śrī Rāmā sebagai tokoh utama dengan segenap kebijaksanaan, kepintaran dan
kegagahannya tetap menunjukkan rasa bakti yang tinggi terhadap orang tuanya.
Nilai Pitra Yajña yang termuat dalam epos Rāmāyana
terdapat pada Kekawin Rāmāyana Trĕyas Sarggah bait 9 demi memenuhi janji orang
tuanya (Raja Daśaratha), Śrī Rāmā, Lakṣmaṇa dan Dewi Sītā mau menerima perintah
dari sang Raja Daśaratha untuk pergi hidup di hutan meninggalkan kekuasaanya
sebagai raja di Ayodhyā.
Dari kisah ini tentu dapat dipetik suatu hakikat nilai
yang sangat istimewa bagaimana bakti seorang anak terhadap orang tuanya.
Betapapun kuat, pintar dan gagahnya seorang anak hendaknya selalu mampu
menunjukkan sujud baktinya kepada orang tua atas jasanya telah memelihara dan
menghidupi anak tersebut.
3. Manusa Yajña
Dalam rumusan kitab suci Veda dan sastra Hindu lainnya,
Manusa Yajña atau Nara Yajña itu adalah memberi makan pada masyarakat dan melayani tamu dalam upacara. Namun dalam
penerapannya di Bali, upacara Manusa Yajña tergolong Sarira Samskara. Inti
Sarira Samskara adalah peningkatan kualitas manusia.
Pada cerita Rāmāyana juga tampak jelas bagaimana nilai
Manusa Yajña yang termuat di dalam uraian kisahnya. Hal ini dapat dilihat pada
kisah yang meceritakan upacara Śrī Rāmā mempersunting Dewi Sītā. Selayaknya
suatu pernikahan suci, upacara ini dilaksanakan dengan Yajña yang lengkap
dipimpin oleh seorang purohita raja dan disaksikan oleh para Dewa, kerabat
kerajaan beserta para Mahaṛsī.
4. Ṛsī Yajña
Ṛsī Yajña itu adalah menghormati dan memuja Ṛsī atau
pendeta. Pada kisah Rāmāyana, nilai-nilai Ṛsī Yajña dapat dijumpai pada
beberapa bagian dimana para tokoh dalam alur ceritanya sangat menghormati para Ṛsī
sebagai pemimpin keagamaan, penasehat kerajaan, dan guru kerohanian.
Keberadaan
beliau tentu sangat penting dalam kehidupan umat beragama. Sudah sepatutnya
sebagai umat beragama senantiasa sujud bakti kepada para Mahaṛsī atau pendeta
sabagai salah satu bentuk Yajña yang utama dalam ajaran agama Hindu. Oleh
karena itu banyak sekali hakikat Yajña yang dapat dipetik untuk dijadikan
pelajaran dalam mengarungi kehidupan sehari-hari.
5.
Bhuta Yajña
Upacara
ini lebih diarahkan pada tujuan untuk nyomia butha kala atau berbagai kekuatan
negatif yang dipandang dapat mengganggu kehidupan manusia. Bhuta Yajña adalah usaha
untuk memelihara kesejahteraan dan keseimbangan alam.
Nilai-nilai
Bhuta Yajña juga nampak jelas pada uraian kisah epos Rāmāyana, hal ini dapat
dilihat pada pelaksanaan Homa Yajña sebagai Yajña yang utama juga diiringi
dengan ritual Bhuta Yajña untuk menetralisir kekuatan negatif sehingga alam
lingkungan menjadi sejahtera.
balakanda termasuk yadnya ap ya??
ReplyDeleteCari ndiri
ReplyDeleteapa itu NDIRI goblok anying ngengek sumpah
ReplyDeleteSabar Bang wkwkkw
Deletengegas bang
DeleteThanks
ReplyDelete